- Ida Jaya Tegaskan Komitmen KICI Lampung Majukan UMKM Perempuan
- Perkuat Sinergi Hukum, Kejati Sumsel Dukung PTPN I Regional 7 Kelola Aset Negara
- Gindha Ansori Wayka Kirim Somasi Kedua: Tegaskan Sikap Hukum atas Perubahan Akta yang Rugikan Klien
- Anggota Komisi II DPRD Lampung Handitiya Narapati Dukung Langkah YBIL Pertahankan Haknya
- AML Apresiasi Marindo Kurniawan, Pendapatan Pemprov Lampung Melesat di Triwulan Awal
- Hakim Eko Aryanto Dimutasi ke Papua, Pasca Vonis Ringan Kasus Harvey Moeis
- Update Skandal Konten Meme Jokowi-Prabowo, Penahanan Tersangka Mahasiswi ITB Ditangguhkan
- PTPN I Targetkan Tanam Sejuta Pohon hingga 2027, Dukung Visi Lingkungan Presiden Prabowo
- Penguatan Kompetensi Pajak, PTPN IV Regional VII Gelar Pelatihan Coretax dan Rekonsiliasi PPN-PPh
- ICCS Summit 2025, Lebih dari Sekadar Branding: Strategi Komunikasi dan Keberlanjutan PTPN I
Rp50 Miliar di Balik Jubah Hakim, Skandal Sugar Group yang Menyeret Elit Peradilan

Keterangan Gambar : Zarof Ricar Makelar Kasus di MA yang kini jadi pesakitan
Jakarta — Malam itu di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat terasa lebih sunyi dari biasanya.
Sorot mata tertuju pada satu pria di kursi saksi: Zarof Ricar.
Baca Lainnya :
- FMGI Dukung Kebijakan Kepala Dinas Copot Kepsek Berkinerja Buruk0
- FMGI Apresiasi Kadis Pendidikan Provinsi Lampung yang Bakal Copot Kepsek Gagal0
- Tindak Tegas! Polres Way Kanan Imbau Pengemudi Batubara Laporkan jika Menjadi Korban Pungli0
- Polisi Terluka saat Amankan Aksi Petani Singkong Di Kantor Pemprov Lampung0
- Kapolda Lampung Terima Audiensi PW Fatayat NU Provinsi Lampung, Bahas Sinergi Perempuan dan Keamanan0
Mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung itu bicara pelan, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya mengguncang sendi-sendi integritas hukum di negeri ini.
Dengan suara berat dan nada yang nyaris tanpa penyesalan, Zarof mengakui sesuatu yang selama ini hanya jadi bisik-bisik, bahwa dia menerima Rp50 miliar dalam sebuah perkara perdata besar melibatkan perusahaan gula terbesar di asia tenggara yakni Sugar Group Companies dan raksasa bisnis asal Jepang, Marubeni Corporation.
“Yang paling besar itu... perkara Marubeni. Saya terima mungkin sekitar Rp50 miliar,” katanya santai, seolah berbicara soal honor biasa.
Bukan dari mana pun uang itu berasal. Bukan pula hasil kerja keras atau investasi. Uang itu, menurut pengakuannya, diterima sebagai "pelicin" agar Sugar Group dimenangkan dalam sengketa perdata yang sangat strategis.
Di Balik Pabrik Gula, Ada Aroma Busuk Uang Suap
Perkara itu sendiri terjadi antara tahun 2016 hingga 2018, ketika Sugar Group melalui lima anak perusahaan, termasuk PT Gula Putih Mataram dan PT Indolampung Distillery menggugat Marubeni dan sejumlah entitas asing atas perjanjian utang yang dipandang merugikan mereka.
Marubeni menggandeng Sumitomo Mitsui dan lembaga keuangan lainnya sebagai kreditur proyek pabrik gula, yang sempat dikuasai negara lewat BPPN pasca krisis 1998.
Namun ketika Marubeni menagih utang pada pemilik baru Sugar Group, mereka mendapat penolakan.
Alasannya, aset yang sudah diserahkan ke negara seharusnya bersih dari beban apa pun.
Tapi bukan substansi perkara itu yang mencengangkan publik. Melainkan apa yang terjadi di balik meja hakim.
Pengakuan Zarof bukan sekadar “minta maaf”. Ia menyibak tirai yang selama ini menutup rapat rapuhnya integritas lembaga peradilan.
Dalam sidang yang sama, ia juga mengakui keterlibatannya dalam suap lain yang lebih baru—memberikan uang Rp5 miliar agar seorang terdakwa pembunuhan, Ronald Tannur, bisa lolos di tingkat kasasi.
Putusan akhirnya memang menjatuhkan hukuman 5 tahun untuk Ronald. Tapi fakta bahwa uang sempat mengalir ke meja hakim agung membuat putusan apa pun terasa hampa dan tak lagi bermakna.
Lebih jauh, Zarof juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas 51 kilogram, dari berbagai pihak yang memiliki perkara di pengadilan.
Ia kini dijerat pula dengan dugaan TPPU. Aset-asetnya dibekukan. Tapi luka pada kepercayaan publik tidak akan sembuh dengan mudah.
Cermin Retak di Istana Keadilan
Cerita Zarof bukan sekadar skandal pribadi. Ia adalah potret suram tentang betapa mudahnya hukum dibeli ketika moral tak lagi dijaga. Rp50 miliar bisa membalik putusan, bisa mengubah hitam jadi putih, salah jadi benar.
“Yang penting menang,” mungkin itu yang ada di benak banyak pihak ketika perkara seperti ini terjadi. (*)